Saturday, March 5, 2016

pergi

Pergi adalah melanjutkan kehidupan lain yang pelan-pelan meniadakan kehadiranku di sini,di sampingmu.
tetapi aku tidak akan sepenuhnya pergi,hanya tidak lagi menjadi bagian dari peristiwa2 yang kamu alami dalam hidup milikmu.
Hidup harus terus diteruskan.
lingkaran waktu harus terus berputar.
dan meski aku tak ingin pergi dan kamu tak ingin aku pergi,
hidup sering kali harus dilanjutkan dengan cara yang tak kita inginkan.

-Fahd Pahdepie-


untuk mereka yang tanpa kusadari menjadi penopang kokoh.

Tuesday, March 3, 2015

kebetulan?

"anything happens for a reason","gag ada apapun yang kebetulan" dan segala macam kata mutiara yang maknanya sama itu baru bisa gw pahami bener maknanya beberapa waktu belakangan ini,sebelumnya?ya cuma rangkaian kata gag ada artinya aja.
pertanyaan2 mendasar -yang kadang cenderung bodoh- gw tentang hidup terjawab lewat apapun pengalaman yang mampir di hidup gw,lewat orang2 yang bersilangan jalan hidupnya sama gw,lewat hal2 y gw baca dan pelajari,and so on.

anything happens for a reason.my life created like this for a reason.

bahkan timingnya pun juga bukan kebetulan.

pertanyaan-pertanyaan bodoh gw dijawab sama Tuhan lewat experiential learning.lewat apa yang dekat sama daily life gw.kadang dijawab instantly at that moment,kadang agak lama dikit.
tp begitu dapet jawabannya,leap me to the next step.

yang belakangan baru gw bisa nemu jawabannya adalah "kenapa gw bisa sekian lama bertahan di salah satu perusahaan?"

jawabannya?beyond my expectation.literally gw harus berterima kasih kaya gimana lagi sama Yang Di Atas.

"...Dia mengatur urusan (makhluk-Nya),dan menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) agar kamu yakin akan pertemuan dengan Tuhanmu." (Ar-Ra'd : 2)

Saturday, January 10, 2015

Museum Atau Gudang?

“Museums should be places where you raise questions, not just show stuff.” – William Thorsell.

Setiap kali pergi ke suatu tempat, tempat yang selalu saya cari selain toko buku dan pantai adalah museum.
Entah sejak kapan kebiasaan ini muncul, kayanya waktu kecil orang tua juga nggak pernah ngajakin jalan ke museum, tapi ketertarikan akan museum tumbuh bersama kecintaan saya akan sejarah dan seni. dan mungkin juga dengan obsesi saya pada keteraturan, tapi kadang gagal saya jalankan karena saking ribetnya jalur pikiran sehingga bingung mau mengatur dari sisi mana.
Museum mana saja yang biasa dikunjungi? kalau baru pertama kali visit ke suatu Negara atau daerah, yang dicari adalah museum yang banyak muatan sejarahnya, termasuk istana, keraton atau situs yang terkadang bisa bercerita banyak tentang sejarah. Jadi bisa tau masa lalu seperti apa yang membentuk wajah suatu tempat. Seperti ke Museum Peranakan di Singapore, Reunification Palace di Ho Chi Minh City, Ullen Sentalu di Jogja, The Royal Palace di Kamboja, Keraton Kasepuhan dan Kanoman Cirebon, rumah pengasingan Bung Karno di Ende Flores, dll.
Selain museum sejarah, saya juga suka ke museum seni atau museum2 yang tematik. Misalnya ke Museum batik Danar Hadi di Solo, Museum fine art di Ho Chi Minh City, Singapore Art Museum di Singapore, Museum Affandi di Jogja, Museum Bank Mandiri, Museum Tekstil, Museum Bank Indonesia, Museum Wayang, Museum Keramik di Jakarta, dll.
Berapa lama di Museum? Tergantung. Pernah satu museum diublek 3 jam full, pernah juga seharian museum hopping. Paling suka kalo sendirian atau jalan bareng orang2 yang emang suka nongkrong di museum, jadi kalo mau explore lama bisa bebas. Siasatnya ya pisah rombongan dan janjian ketemu di meeting point. Tapi kadang saya juga harus merelakan nggak bisa masuk ke museum karena nggak mungkin pisah sama temen jalan dengan pertimbangan waktu atau kesulitan menentukan meeting point. Kenapa lama? Karena saya bisa stuck di 1 koleksi dan membayangkan banyak hal, membayangkan banyaknya peristiwa yang sudah dilalui oleh 1 benda koleksi. Bisa dapat banyak insight dari situ, bisa juga sambil merekonstruksi sejarah di dalam kepala. Bisa senyum-senyum sendiri, mengerutkan kening, terpukau atau bahkan menangis terharu terbawa perasaan tentang nilai sentimental koleksi. misalnya waktu di museum Affandi Jogja, 1 lukisan Pak Affandi bisa menahan saya begitu lama karena saya merasakan guratan tegas tangan yang penuh dengan passion di dalamnya, merasakan perasaan apa yang ingin dia sampaikan melalui sebuah coretan di atas kanvas atau waktu saya melihat foto beliau dengan anaknya (Ibu Kartika) sedang melukis bersama di Amerika, ada nuansa keceriaan dan lagi lagi passion yang keluar dari selembar foto itu. Atau saat sedang menyaksikan lukisan-lukisan Raden Saleh yang menurut saya luar biasa, dan dari lukisan-lukisannya saya merasakan bagaimana seorang Raden Saleh adalah seorang yang beyond the era, seseorang yang lahir di jaman yang bukan jamannya sehingga pemikiran atau perbuatannya terkadang sulit dimengerti pada masanya. Melihat kumpulan surat di museum Ullen Sentalu dan membayangkan bagaimana situasi saat surat2 itu ditulis, bagaimana perasaan si penulis dan perasaan orang yang menerima dan membacanya, pesan apa yang coba disampaikan dan apakah itu tersampaikan.  
Di beberapa museum dan situs sejarah, beruntung banget kalau ada guide yang bisa memberikan info yang lengkap dan akurat tentang koleksi2 museum. Di museum batik Danar Hadi Solo, Ullen Sentalu Jogja dan Keraton Kasepuhan Cirebon misalnya, setiap pengunjung atau grup pengunjung didampingi 1 guide yang membantu kita menerangkan isi koleksi. Di Ullen Sentalu malah kita harus rela nunggu sampai kuota grup mencukupi atau nunggu jeda antar grup supaya nggak riweuh di dalem museum, di museum-museum di Singapore ada jam2 tertentu untuk trip keliling dengan guide.
Semua museum menurut saya bagus, karena effort untuk membuat sebuah museum itu nggak gampang. Boro2 effort, ada niat bikin museum aja itu udah bagus, karena ini tanggung jawab seumur hidup untuk merawat dan menjaga koleksi. tapi ada beberapa tempat yang jadi favorit karena mereka menjaga dan merawat koleksi dengan sangat baik serta menyediakan informasi yang dirangkai dengan baik. Misalnya di Singapore. Karena saya belum pernah ke museum2 di Eropa dan Amerika yang katanya bagus banget itu, maka patokan saya adalah museum2 di Singapore. Menurut saya sih pemerintah dan pihak swastanya cukup serius mengelola museum2 yang ada di sana. 1 negara itu aja jumlah museumnya ada banyak, satu tempat nggak cukup diexplore 1 jam. Semua museum dikelola sama National Heritage Board dan diintegrasi sama program pariwisata Singapore. Bahkan ada buklet yang terbit berkala, isinya event2 yang ada di masing2 museum. jadi kita nggak perlu sibuk nyari info di sana sini. Pernah saking freaknya, saya seharian Cuma muterin museum di sana, hahaha..
Di Jakarta saya suka sama Museum Bank Indonesia, pengelolaannya sudah pro seperti di Singapura. Galeri Indonesia Kaya yang di Mal Grand Indonesia juga saya anggap sebagai museum kecil yang dikelola dengan baik. Selain itu, saya jatuh cinta sama Museum Ullen Sentalu di Jogja dan Museum Batik Danar Hadi.
Kebanyakan museum yang ‘layak’ memang biasanya dikelola oleh pihak swasta atau pihak keluarga. Sebenernya agak prihatin dengan kondisi banyak museum di Indonesia. Selain dari pemeliharaan, perawatan koleksinya kurang, dan informasi yang disediakan Cuma seiprit dan kadang malah nggak ada, kelakuan para pengunjungnya itu loh, ya ampuuunnnn maen pegang2, injek2, naek2 ke tempat koleksi disimpan (misalnya di Museum Fatahillah, makanya saya nggak suka kesana karena bikin nangis aja). Jadinya saya suka banget tuh negur2 mereka biar gag pegang2 koleksi, duh. Harusnya pihak museum tegas bikin aturan dan edukasi tentang cara memperlakukan benda koleksi dan ngasih pembatas supaya ada jarak antara benda koleksi dengan pengunjung. Mungkin bisa mencontoh museum di Indonesia yang dikelola swasta atau yayasan keluarga, misalnya Museum Ullen Sentalu Jogja yang tegas melarang pengunjung mengambil gambar di dalam museum atau sendirian tanpa guide. Kalau yang dikelola swasta saja bisa kenapa pemerintah tidak bisa?
Dari museum juga kita bisa tahu bagaimana suatu Negara memperlakukan sejarahnya. apakah dihargai dengan layak atau tidak. Kalau mau dibandingkan, rata2 harga tiket masuk di museum-museum Indonesia yang dikelola pemerintah tidak lebih dari Rp 5000, sedangkan yang dikelola pihak swasta rata2 Rp 20.000 ke atas.
Beruntungnya sekarang mulai banyak komunitas pecinta museum dan sejarah yang terbentuk, jadi ada banyak pihak yang memikirkan keberadaan museum di Indonesia, termasuk edukasi ke masyarakat tentang bagaimana memperlakukan benda koleksi dengan baik.
Museum dan gudang itu beda tipis. Fungsi asalnya sama2 tempat buat nyimpen barang, bedanya yang disimpan di museum ditata dan dirawat dengan baik serta menumbuhkan interpretasi atau diskusi dari yang melihat plus ada tujuan konservasi, kalau gudang Cuma tempat buat numpuk barang2 yang sayang dibuang. Kita nggak mau Indonesia Cuma punya gudang-gudang aja kan?

Banyak sekali museum yang menarik untuk dikunjungi apalagi di Indonesia yang kaya sejarah dan koleksi. ada beberapa museum yang sudah masuk list saya untuk dikunjungi. bahkan ada yang waiting list karena untuk masuk ke museumnya harus by appointment dan harus sesuai kuota pengunjung yang ditentukan. Seru ya?

Monday, June 23, 2014

A Journey To The East.


580 km.

“Certainly, travel is more than the seeing of sights. It is a change that goes on, deep and permanent, in the ideas of living.” – Miriam Beard


Semua orang bilang Flores bagus. ‘C’est magnifique’, katanya. Saya sebagai pemuja keindahan alam dan budaya sudah pasti menjadikan Flores sebagai destinasi idaman. 2 tahun saya pendam keinginan untuk menjejakkan kaki di tanah rempah ini. Saya tulis di bucket list di treasure book saya. Sekedar mengingatkan bahwa saya harus mengunjungi daerah Timur, yang kata orang dianaktirikan dari saudaranya di Barat.

Tapi tidak ada yang pernah mengatakan ke saya mengenai kekayaan Flores yang lain. Kekayaan yang jujur saja menyentak hati saya, their pristine of heart. 9 hari di Flores, setiap hari selalu saja ada kebaikan dari orang-orang ke kami. Kebaikan yang saya rasa datang tanpa mengharapkan apa-apa. Kita bisa menilai kan mana kebaikan yang beneran dan mana yang bukan? Saya yang lahir, besar dan terbiasa dengan kehidupan urban jujur saja sedikit gagap budaya di awal. Terbiasa mengkalkulasikan segala sesuatu, terbiasa alert dengan orang lain, terbiasa kecewa dengan harapan saya akan orang lain, terbiasa mengamini metaphor ‘homo homini lupus’. Saya lupa bahwa kami sejatinya adalah manusia, bukan serigala. Saya rasa bukan kami, manusia urban, yang akan dikecewakan oleh mereka, tapi mereka yang akan patah hati terlebih dulu terhadap kehidupan urban yang (ironisnya) dianggap diatas segalanya.

This is a journey to regain the basic value of life and reveal it to my consciousness. To be sincere, genuine and pristine.

Banyak waktu di Flores yang saya pakai untuk berpikir. Berat ya, liburan kok mikir, hehehe. Tapi justru saat liburan seperti inilah saya banyak berkontemplasi. Saya lupa sejak kapan kebiasaan ini saya lakukan. Sejak kapan saya mulai berlibur sambil mencoba menghayati kehidupan di daerah yang saya singgahi. Sejak kapan saya menjadi sebal dengan mereka yang datang dan berlagak seperti mereka yang tahu segalanya. Sejak kapan saya mulai meletakkan kamera dan menikmati segala sesuatu dengan mata dan direkam di dalam hati. Let your memory be your travel bag.

Ah banyak hal yang saya dapat dari perjalanan sepanjang 580 km ini. Mengunjungi rumah pengasingan pertama Bapak Soekarno, membayangkan bagaimana kehidupannya selama masa itu. Membayangkan apa yang diceritakan Ibu Inggit Garnasih di buku yang kebetulan sedang saya baca ‘Soekarno : Kuantar ke Gerbang’. Sedikit terharu karena apa yang saya baca di buku bisa saya lihat langsung di depan mata. Berjalan diam di bawah milky way yang super duper luar biasa bagusnya, mengatur napas mendaki demi mendapatkan sepotong sunrise. Mengetahui keragaman suku dan bahasa daerah di sepanjang pulau ini. Menikmati pulau kosong yang mengingatkan kembali pada imajinasi masa kecil saya tentang Pulau Kirrin, pulau milik George Lima Sekawan tokoh rekaan Enid Blyton, Sang Ibu pendongeng yang kisah-kisahnya memberikan pengaruh besar pada kehidupan saya sekarang. Berbagi cerita dengan teman seperjalanan yang belum tentu hal itu kami lakukan di Jakarta.

Menikmati dunia bawah laut yang hemmm what can I say ya, remarkable maybe. Berkunjung ke desa-desa adat. Berbagi cerita dengan Bapak tua tentang kehidupan di desanya sambil menyesap kopi yang luar biasa enak dan harumnya. Ikut bangga dengan cerita para orang tua tentang anak-anaknya yang menuntut ilmu keluar dari pulau itu. Tertawa kegirangan saat menemukan sabana di tengah perjalanan darat menuju tempat persinggahan kami berikutnya. Menikmati jalan raya yaaaanngggg super menantang ketahanan perut kami, sampai-sampai oleh mas-mas di kota sebelumnya saya diminta untuk memberikan kabar apakah kami kuat bertahan atau tidak, hahahaha.

 
 
 
Mengenal beberapa jenis rempah dalam bentuk aslinya,baik pohon maupun buahnya, baru tahu saya kalau kemiri itu ada pohonnya :p. Menikmati mandi air hangat di sungai pertemuan air panas dan air dingin secara gratis, berbaur dengan para penduduk desa. Menikmati sarapan sambil minum kopi enak buatan pemilik penginapan (yang kemudian saya dibekali beberapa kantong kopi miliknya) sambil berbincang tentang pemilihan presiden, tentang keluarganya, tentang fakta bahwa kami adalah orang Indonesia pertama yang menginap di tempatnya. Menikmati masakan paling enak buatan ABK yang kebetulan mantan chef. Menikmati tidur semalam di kapal sambil terkena hujan abu gunung meletus yang kok ya kebetulan meletus pas kami ada di sana. kapan lagi kan ya dapat pengalaman kaya gini, melihat awan letusan gunung berapi, kena hujan abu semalaman dan sepanjang hari besoknya saat kami sedang ada ditengah laut. Tracking di tengah hujan abu. Berasa kaya di dunia purba. Sampai-sampai cemas karena takut tidak bisa pulang ke Jakarta akibat bandara ditutup karena hujan abu. It’s once in a lifetime of experience.
 
 
 

Dan sekali lagi, menikmati kebaikan orang-orang yang kemudian menjadi teman dan keluarga baru saya.

Seperti tulisan saya sebelumnya, saya berharap kedatangan kami atau bahkan tulisan ini tidak mengubah local wisdom daerah tersebut. Teringat perbincangan dengan salah satu teman, bahwa yang merusak local wisdom suatu daerah wisata bukanlah dari turis asing, tapi justru dari turis local yang datang membawa segala arogansi mereka hanya karena menganggap budayanya paling ‘cool’. Saya harap kami bukan salah satunya. Just like this one quote,

“When you travel, remember that a foreign country isn’t designed to make you comfortable. It is designed to make its own people comfortable” – Clifton Fadiman
Gotcha.
I have left my heart in many places, and now I left another piece in this land. I’ll be back soon.
Ps. Saya menulis di sela-sela menonton debat Capres. Saya harap para capres ini akan mengingat dengan jelas setiap kalimat yang mereka ucapkan tentang janji untuk bangsa ini. Bangsa ini bangsa yang hebat dear Bapak-Bapak, kami butuh pemimpin yang hebat juga. Sering-sering main ke pelosok-pelosok ya Pak, biar tahu mereka butuhnya apa J
Ps lagi. kalo ada yang butuh contact person orang2 yang bantuin saya di sana, bisa contact ke email : jd_snape@yahoo.com. I'll help you right away :D

Monday, February 24, 2014

People judge,always will always be.

Terkadang tindakan atau ketidakpekaan seseorang akan sesuatu menghadirkan cap atau label tertentu dari society.
Cap baik kalau menurut mereka sesuai dengan what-so-called norma atau mau mereka,dan vice versa.
Lucunya,label itu mereka berikan hanya dari apa yang mereka rasa dari tampak luar saja *cynical grin*.padahal bisa jadi apa yang tampak dari luar sama sekali tidak menggambarkan apa yang ada di dalam.pickup line-nya 'what's inside doesn't look a like what's outside'.
Tapi itulah realita kehidupan sosial.suka atau tidak kita harus ikuti permainannya.saya pun terlibat di dalamnya.terkadang memberikan label ke orang2 di sekitar saya.terkadang pun saya diberikan label.ada yang benar,ada juga yang tidak.
Yang menyedihkan adalah bila kita diberi label yang tidak sesuai oleh first ring kita.hanya karena apa yang mereka rasa.bila label diberikan oleh orang2 diluar first ring,kita cenderung mengabaikan.karena benar atau tidaknya pun bukan masalah,toh mereka tidak mengenal kita bukan?but,first ring matters.ironisnya,kita pun selalu belajar bahwa level first ring pun tidak sepenuhnya mengenal pribadi seseorang luar dalam atau alasan-alasan apa dibalik tindakannya.bahkan dianggap pembelaan diri.ironic.
Tulisan kali ini bukanlah pembelaan diri atau pledoi kalo kata orang2 hukum.hanya pikiran atau rasa yang saya tumpahkan yang cukup mengganjal belakangan ini.karena i do judge.and i'm struggling to avoid that.but yet again,everytime we try very hard to do something,then obstacles will suddenly appear everywhere :)
First ring matters buat saya.saking pentingnya,kadang saya 'jatuh bangun' menghadapi mereka.karena saya lupa mereka hanya manusia biasa,sedangkan i set high expectation on them.sehingga rasa kecewa atau being backstabbed terkadang muncul di permukaan.berlebihan ya rasanya?maybe because i have too much love or too much devotion on them.wise man says 'too much love will kill you'.
Well,it's part of growing up thou'.

Ps. tiba2 jadi keingetan jaman kuliah 'labelling' di jaman rikiplik :p.

'people judge,always will always be.c'est la vie!'

Tuesday, November 19, 2013

My Best Afternoon Date..

I find my best afternoon date.
In the mid of monday traffic jam of Jakarta, the common traffic jam that in another day i'd probably curse day and nite.
It was just us, both of us.
Sharing our very own intimate thoughts.
Talking about the most personal thing of each other.
About me,about u, about our secrets.
About the basic questions of life.

I will always remembering that day.
The day we sat and relaxed in a coffee shop.
Sipping our own coffee cup,
Laughing, contemplating, questioning.
Watching the traffic in the street down there.
Waiting the sun to be set.

That was one of the days i'll never forget.
The day i had ur name in my coffee cup, the name that i'd like to have as mine.
That one afternoon I'll keep playing over and over in my head.
A day that i can't bring myself to tell without a sharp painful sense in my heart.
This is my love that once was.

I love u, still.




Thursday, November 14, 2013

Nothing In Life Is A Coincidence

The Sunset Catchers..

"There is a third dimension to traveling, the longing for what is beyond " - Jan Myrdal

Baru kembali dari ‘ritual menggosongkan muka’. Kemana? Ya seperti biasa, tebak2 aja sendiri ya, hehehe..

Dari perjalanan kali ini, ada beberapa pertanyaan mendasar yang come up dari saya atau dari teman2 seperjalanan saya. ‘Apa yang saya cari dari perjalanan ini?’, ‘Apakah perjalanan ini sia2?’, dan pertanyaan2 lain yang kadang2 suka pop up aja di kepala.

In every journey, i find new insights. Insights bisa datang dari temen2, bisa datang pas lagi free diving, bisa datang pas lagi stargazing ngitungin bintang jatuh, bisa datang pas lagi rame2 nongkrong ngobrol nggak penting tapi ternyata ujung2nya itu penting, bisa dateng pas lagi leyeh2 di white sandy beach, bisa datang di mana saja, kapan saja, dari siapa saja.

Buat saya, nothing in life is a coincidence. Begitu juga dengan perjalanan ini. Saya ketemu orang-orang yang memberi banyak insight di kepala. Bayangin aja, di tengah laut pikiran saya disentak begitu aja sama seorang temen. Coincidence? bukan.

Saya banyak berdialog dengan diri sendiri. Hal yang jarang saya lakukan di tengah hiruk pikuk Jakarta, di tengah orang2 yang sepertinya ribet dengan kehidupannya sampai lupa berhenti sejenak untuk menarik nafas dan menikmati hening dengan diri sendiri atau sekedar berinteraksi secara manusiawi dengan orang-orang lain disekitarnya. Tempo kehidupan yang melambat ‘memaksa’ saya juga untuk berjalan lambat. I’m in a slow motion mode. Disinilah waktu saya untuk berpikir. Waktu untuk diam, untuk menurunkan ritme. Tempat favorit saya?selalu di dermaga.




Jadi jawaban dari pertanyaan ‘Apakah perjalanan ini sia2?’, jawaban saya ‘tidak’.


Crystal clear!
 
 
Sunrise Serenade.
 

My room's view, super hot!


Breaking Dawn..

PS. Dapat info, kalo di pulau tetangga yang tidak jauh dari ‘rumah’ saya di sana sudah dibangun bandara dan akan segera selesai. Yang berarti akses akan semakin mudah dan semakin banyak orang yang kesana. Sedih saya dengernya. Karena pertanyaan yang selalu muncul tiap kali saya pergi ke suatu tempat yang masih sepi dan kearifan lokalnya masih kuat adalah ‘ sampai kapan tempat ini akan bertahan diam seperti ini?’.

Yah, semoga kedatangan kami2 ini yang ingin escape dari polusi kehidupan tidak ‘mengontaminasi’ kehidupan dan kebudayaan orang lokal. Just be a responsible traveler, ciao Bella!