Saturday, January 10, 2015

Museum Atau Gudang?

“Museums should be places where you raise questions, not just show stuff.” – William Thorsell.

Setiap kali pergi ke suatu tempat, tempat yang selalu saya cari selain toko buku dan pantai adalah museum.
Entah sejak kapan kebiasaan ini muncul, kayanya waktu kecil orang tua juga nggak pernah ngajakin jalan ke museum, tapi ketertarikan akan museum tumbuh bersama kecintaan saya akan sejarah dan seni. dan mungkin juga dengan obsesi saya pada keteraturan, tapi kadang gagal saya jalankan karena saking ribetnya jalur pikiran sehingga bingung mau mengatur dari sisi mana.
Museum mana saja yang biasa dikunjungi? kalau baru pertama kali visit ke suatu Negara atau daerah, yang dicari adalah museum yang banyak muatan sejarahnya, termasuk istana, keraton atau situs yang terkadang bisa bercerita banyak tentang sejarah. Jadi bisa tau masa lalu seperti apa yang membentuk wajah suatu tempat. Seperti ke Museum Peranakan di Singapore, Reunification Palace di Ho Chi Minh City, Ullen Sentalu di Jogja, The Royal Palace di Kamboja, Keraton Kasepuhan dan Kanoman Cirebon, rumah pengasingan Bung Karno di Ende Flores, dll.
Selain museum sejarah, saya juga suka ke museum seni atau museum2 yang tematik. Misalnya ke Museum batik Danar Hadi di Solo, Museum fine art di Ho Chi Minh City, Singapore Art Museum di Singapore, Museum Affandi di Jogja, Museum Bank Mandiri, Museum Tekstil, Museum Bank Indonesia, Museum Wayang, Museum Keramik di Jakarta, dll.
Berapa lama di Museum? Tergantung. Pernah satu museum diublek 3 jam full, pernah juga seharian museum hopping. Paling suka kalo sendirian atau jalan bareng orang2 yang emang suka nongkrong di museum, jadi kalo mau explore lama bisa bebas. Siasatnya ya pisah rombongan dan janjian ketemu di meeting point. Tapi kadang saya juga harus merelakan nggak bisa masuk ke museum karena nggak mungkin pisah sama temen jalan dengan pertimbangan waktu atau kesulitan menentukan meeting point. Kenapa lama? Karena saya bisa stuck di 1 koleksi dan membayangkan banyak hal, membayangkan banyaknya peristiwa yang sudah dilalui oleh 1 benda koleksi. Bisa dapat banyak insight dari situ, bisa juga sambil merekonstruksi sejarah di dalam kepala. Bisa senyum-senyum sendiri, mengerutkan kening, terpukau atau bahkan menangis terharu terbawa perasaan tentang nilai sentimental koleksi. misalnya waktu di museum Affandi Jogja, 1 lukisan Pak Affandi bisa menahan saya begitu lama karena saya merasakan guratan tegas tangan yang penuh dengan passion di dalamnya, merasakan perasaan apa yang ingin dia sampaikan melalui sebuah coretan di atas kanvas atau waktu saya melihat foto beliau dengan anaknya (Ibu Kartika) sedang melukis bersama di Amerika, ada nuansa keceriaan dan lagi lagi passion yang keluar dari selembar foto itu. Atau saat sedang menyaksikan lukisan-lukisan Raden Saleh yang menurut saya luar biasa, dan dari lukisan-lukisannya saya merasakan bagaimana seorang Raden Saleh adalah seorang yang beyond the era, seseorang yang lahir di jaman yang bukan jamannya sehingga pemikiran atau perbuatannya terkadang sulit dimengerti pada masanya. Melihat kumpulan surat di museum Ullen Sentalu dan membayangkan bagaimana situasi saat surat2 itu ditulis, bagaimana perasaan si penulis dan perasaan orang yang menerima dan membacanya, pesan apa yang coba disampaikan dan apakah itu tersampaikan.  
Di beberapa museum dan situs sejarah, beruntung banget kalau ada guide yang bisa memberikan info yang lengkap dan akurat tentang koleksi2 museum. Di museum batik Danar Hadi Solo, Ullen Sentalu Jogja dan Keraton Kasepuhan Cirebon misalnya, setiap pengunjung atau grup pengunjung didampingi 1 guide yang membantu kita menerangkan isi koleksi. Di Ullen Sentalu malah kita harus rela nunggu sampai kuota grup mencukupi atau nunggu jeda antar grup supaya nggak riweuh di dalem museum, di museum-museum di Singapore ada jam2 tertentu untuk trip keliling dengan guide.
Semua museum menurut saya bagus, karena effort untuk membuat sebuah museum itu nggak gampang. Boro2 effort, ada niat bikin museum aja itu udah bagus, karena ini tanggung jawab seumur hidup untuk merawat dan menjaga koleksi. tapi ada beberapa tempat yang jadi favorit karena mereka menjaga dan merawat koleksi dengan sangat baik serta menyediakan informasi yang dirangkai dengan baik. Misalnya di Singapore. Karena saya belum pernah ke museum2 di Eropa dan Amerika yang katanya bagus banget itu, maka patokan saya adalah museum2 di Singapore. Menurut saya sih pemerintah dan pihak swastanya cukup serius mengelola museum2 yang ada di sana. 1 negara itu aja jumlah museumnya ada banyak, satu tempat nggak cukup diexplore 1 jam. Semua museum dikelola sama National Heritage Board dan diintegrasi sama program pariwisata Singapore. Bahkan ada buklet yang terbit berkala, isinya event2 yang ada di masing2 museum. jadi kita nggak perlu sibuk nyari info di sana sini. Pernah saking freaknya, saya seharian Cuma muterin museum di sana, hahaha..
Di Jakarta saya suka sama Museum Bank Indonesia, pengelolaannya sudah pro seperti di Singapura. Galeri Indonesia Kaya yang di Mal Grand Indonesia juga saya anggap sebagai museum kecil yang dikelola dengan baik. Selain itu, saya jatuh cinta sama Museum Ullen Sentalu di Jogja dan Museum Batik Danar Hadi.
Kebanyakan museum yang ‘layak’ memang biasanya dikelola oleh pihak swasta atau pihak keluarga. Sebenernya agak prihatin dengan kondisi banyak museum di Indonesia. Selain dari pemeliharaan, perawatan koleksinya kurang, dan informasi yang disediakan Cuma seiprit dan kadang malah nggak ada, kelakuan para pengunjungnya itu loh, ya ampuuunnnn maen pegang2, injek2, naek2 ke tempat koleksi disimpan (misalnya di Museum Fatahillah, makanya saya nggak suka kesana karena bikin nangis aja). Jadinya saya suka banget tuh negur2 mereka biar gag pegang2 koleksi, duh. Harusnya pihak museum tegas bikin aturan dan edukasi tentang cara memperlakukan benda koleksi dan ngasih pembatas supaya ada jarak antara benda koleksi dengan pengunjung. Mungkin bisa mencontoh museum di Indonesia yang dikelola swasta atau yayasan keluarga, misalnya Museum Ullen Sentalu Jogja yang tegas melarang pengunjung mengambil gambar di dalam museum atau sendirian tanpa guide. Kalau yang dikelola swasta saja bisa kenapa pemerintah tidak bisa?
Dari museum juga kita bisa tahu bagaimana suatu Negara memperlakukan sejarahnya. apakah dihargai dengan layak atau tidak. Kalau mau dibandingkan, rata2 harga tiket masuk di museum-museum Indonesia yang dikelola pemerintah tidak lebih dari Rp 5000, sedangkan yang dikelola pihak swasta rata2 Rp 20.000 ke atas.
Beruntungnya sekarang mulai banyak komunitas pecinta museum dan sejarah yang terbentuk, jadi ada banyak pihak yang memikirkan keberadaan museum di Indonesia, termasuk edukasi ke masyarakat tentang bagaimana memperlakukan benda koleksi dengan baik.
Museum dan gudang itu beda tipis. Fungsi asalnya sama2 tempat buat nyimpen barang, bedanya yang disimpan di museum ditata dan dirawat dengan baik serta menumbuhkan interpretasi atau diskusi dari yang melihat plus ada tujuan konservasi, kalau gudang Cuma tempat buat numpuk barang2 yang sayang dibuang. Kita nggak mau Indonesia Cuma punya gudang-gudang aja kan?

Banyak sekali museum yang menarik untuk dikunjungi apalagi di Indonesia yang kaya sejarah dan koleksi. ada beberapa museum yang sudah masuk list saya untuk dikunjungi. bahkan ada yang waiting list karena untuk masuk ke museumnya harus by appointment dan harus sesuai kuota pengunjung yang ditentukan. Seru ya?