580 km. |
“Certainly, travel is more than the seeing of sights. It is a change that goes on, deep and permanent, in the ideas of living.” – Miriam Beard
Semua orang bilang Flores bagus.
‘C’est magnifique’, katanya. Saya sebagai pemuja keindahan alam dan budaya
sudah pasti menjadikan Flores sebagai destinasi idaman. 2 tahun saya pendam
keinginan untuk menjejakkan kaki di tanah rempah ini. Saya tulis di bucket list
di treasure book saya. Sekedar mengingatkan bahwa saya harus mengunjungi daerah
Timur, yang kata orang dianaktirikan dari saudaranya di Barat.
Tapi tidak ada yang pernah
mengatakan ke saya mengenai kekayaan Flores yang lain. Kekayaan yang jujur saja
menyentak hati saya, their pristine of heart. 9 hari di Flores, setiap hari
selalu saja ada kebaikan dari orang-orang ke kami. Kebaikan yang saya rasa
datang tanpa mengharapkan apa-apa. Kita bisa menilai kan mana kebaikan yang
beneran dan mana yang bukan? Saya yang lahir, besar dan terbiasa dengan
kehidupan urban jujur saja sedikit gagap budaya di awal. Terbiasa
mengkalkulasikan segala sesuatu, terbiasa alert dengan orang lain, terbiasa
kecewa dengan harapan saya akan orang lain, terbiasa mengamini metaphor ‘homo
homini lupus’. Saya lupa bahwa kami sejatinya adalah manusia, bukan serigala.
Saya rasa bukan kami, manusia urban, yang akan dikecewakan oleh mereka,
tapi mereka yang akan patah hati terlebih dulu terhadap kehidupan urban yang
(ironisnya) dianggap diatas segalanya.
This is a journey to regain the basic value of life and
reveal it to my consciousness. To be sincere, genuine and pristine.
Banyak waktu di Flores yang saya
pakai untuk berpikir. Berat ya, liburan kok mikir, hehehe. Tapi justru saat
liburan seperti inilah saya banyak berkontemplasi. Saya lupa sejak kapan
kebiasaan ini saya lakukan. Sejak kapan saya mulai berlibur sambil mencoba
menghayati kehidupan di daerah yang saya singgahi. Sejak kapan saya menjadi
sebal dengan mereka yang datang dan berlagak seperti mereka yang tahu segalanya.
Sejak kapan saya mulai meletakkan kamera dan menikmati segala sesuatu dengan
mata dan direkam di dalam hati. Let your memory be your travel bag.
Ah banyak hal yang saya dapat dari
perjalanan sepanjang 580 km ini. Mengunjungi
rumah pengasingan pertama Bapak Soekarno, membayangkan bagaimana kehidupannya
selama masa itu. Membayangkan apa yang diceritakan Ibu Inggit Garnasih di buku
yang kebetulan sedang saya baca ‘Soekarno : Kuantar ke Gerbang’. Sedikit terharu
karena apa
yang saya baca di buku bisa saya lihat langsung di depan mata. Berjalan diam di
bawah milky way yang super duper luar biasa bagusnya, mengatur napas mendaki
demi mendapatkan sepotong sunrise. Mengetahui keragaman suku dan bahasa daerah
di sepanjang pulau ini. Menikmati pulau kosong yang mengingatkan kembali pada
imajinasi masa kecil saya tentang Pulau Kirrin, pulau milik George Lima Sekawan
tokoh rekaan Enid Blyton, Sang Ibu pendongeng yang kisah-kisahnya memberikan
pengaruh besar pada kehidupan saya sekarang. Berbagi cerita dengan teman seperjalanan yang belum tentu hal itu kami lakukan di Jakarta.
Menikmati dunia bawah laut yang
hemmm what can I say ya, remarkable maybe. Berkunjung ke desa-desa adat. Berbagi
cerita dengan Bapak tua tentang kehidupan di desanya sambil menyesap kopi yang
luar biasa enak dan harumnya. Ikut bangga dengan cerita para orang tua tentang
anak-anaknya yang menuntut ilmu keluar dari pulau itu. Tertawa kegirangan saat
menemukan sabana di tengah perjalanan darat menuju tempat persinggahan kami
berikutnya. Menikmati jalan raya yaaaanngggg super menantang ketahanan perut
kami, sampai-sampai oleh mas-mas di kota sebelumnya saya diminta untuk
memberikan kabar apakah kami kuat bertahan atau tidak, hahahaha.
Dan sekali lagi, menikmati kebaikan orang-orang
yang kemudian menjadi teman dan keluarga baru saya.
Seperti tulisan saya sebelumnya,
saya berharap kedatangan kami atau bahkan tulisan ini tidak mengubah local wisdom
daerah tersebut. Teringat perbincangan dengan salah satu teman, bahwa yang
merusak local wisdom suatu daerah wisata bukanlah dari turis asing, tapi justru
dari turis local yang datang membawa segala arogansi mereka hanya karena
menganggap budayanya paling ‘cool’. Saya harap kami bukan salah satunya. Just
like this one quote,
“When you travel, remember that a foreign country isn’t designed to make you comfortable. It is designed to make its own people comfortable” – Clifton Fadiman
Gotcha.
I have left my heart in many places,
and now I left another piece in this land. I’ll be back soon.
Ps. Saya menulis di sela-sela
menonton debat Capres. Saya harap para capres ini akan mengingat dengan jelas
setiap kalimat yang mereka ucapkan tentang janji untuk bangsa ini. Bangsa ini bangsa
yang hebat dear Bapak-Bapak, kami butuh pemimpin yang hebat juga. Sering-sering
main ke pelosok-pelosok ya Pak, biar tahu mereka butuhnya apa J
Ps lagi. kalo ada yang butuh contact person orang2 yang bantuin saya di sana, bisa contact ke email : jd_snape@yahoo.com. I'll help you right away :D