Monday, June 23, 2014

A Journey To The East.


580 km.

“Certainly, travel is more than the seeing of sights. It is a change that goes on, deep and permanent, in the ideas of living.” – Miriam Beard


Semua orang bilang Flores bagus. ‘C’est magnifique’, katanya. Saya sebagai pemuja keindahan alam dan budaya sudah pasti menjadikan Flores sebagai destinasi idaman. 2 tahun saya pendam keinginan untuk menjejakkan kaki di tanah rempah ini. Saya tulis di bucket list di treasure book saya. Sekedar mengingatkan bahwa saya harus mengunjungi daerah Timur, yang kata orang dianaktirikan dari saudaranya di Barat.

Tapi tidak ada yang pernah mengatakan ke saya mengenai kekayaan Flores yang lain. Kekayaan yang jujur saja menyentak hati saya, their pristine of heart. 9 hari di Flores, setiap hari selalu saja ada kebaikan dari orang-orang ke kami. Kebaikan yang saya rasa datang tanpa mengharapkan apa-apa. Kita bisa menilai kan mana kebaikan yang beneran dan mana yang bukan? Saya yang lahir, besar dan terbiasa dengan kehidupan urban jujur saja sedikit gagap budaya di awal. Terbiasa mengkalkulasikan segala sesuatu, terbiasa alert dengan orang lain, terbiasa kecewa dengan harapan saya akan orang lain, terbiasa mengamini metaphor ‘homo homini lupus’. Saya lupa bahwa kami sejatinya adalah manusia, bukan serigala. Saya rasa bukan kami, manusia urban, yang akan dikecewakan oleh mereka, tapi mereka yang akan patah hati terlebih dulu terhadap kehidupan urban yang (ironisnya) dianggap diatas segalanya.

This is a journey to regain the basic value of life and reveal it to my consciousness. To be sincere, genuine and pristine.

Banyak waktu di Flores yang saya pakai untuk berpikir. Berat ya, liburan kok mikir, hehehe. Tapi justru saat liburan seperti inilah saya banyak berkontemplasi. Saya lupa sejak kapan kebiasaan ini saya lakukan. Sejak kapan saya mulai berlibur sambil mencoba menghayati kehidupan di daerah yang saya singgahi. Sejak kapan saya menjadi sebal dengan mereka yang datang dan berlagak seperti mereka yang tahu segalanya. Sejak kapan saya mulai meletakkan kamera dan menikmati segala sesuatu dengan mata dan direkam di dalam hati. Let your memory be your travel bag.

Ah banyak hal yang saya dapat dari perjalanan sepanjang 580 km ini. Mengunjungi rumah pengasingan pertama Bapak Soekarno, membayangkan bagaimana kehidupannya selama masa itu. Membayangkan apa yang diceritakan Ibu Inggit Garnasih di buku yang kebetulan sedang saya baca ‘Soekarno : Kuantar ke Gerbang’. Sedikit terharu karena apa yang saya baca di buku bisa saya lihat langsung di depan mata. Berjalan diam di bawah milky way yang super duper luar biasa bagusnya, mengatur napas mendaki demi mendapatkan sepotong sunrise. Mengetahui keragaman suku dan bahasa daerah di sepanjang pulau ini. Menikmati pulau kosong yang mengingatkan kembali pada imajinasi masa kecil saya tentang Pulau Kirrin, pulau milik George Lima Sekawan tokoh rekaan Enid Blyton, Sang Ibu pendongeng yang kisah-kisahnya memberikan pengaruh besar pada kehidupan saya sekarang. Berbagi cerita dengan teman seperjalanan yang belum tentu hal itu kami lakukan di Jakarta.

Menikmati dunia bawah laut yang hemmm what can I say ya, remarkable maybe. Berkunjung ke desa-desa adat. Berbagi cerita dengan Bapak tua tentang kehidupan di desanya sambil menyesap kopi yang luar biasa enak dan harumnya. Ikut bangga dengan cerita para orang tua tentang anak-anaknya yang menuntut ilmu keluar dari pulau itu. Tertawa kegirangan saat menemukan sabana di tengah perjalanan darat menuju tempat persinggahan kami berikutnya. Menikmati jalan raya yaaaanngggg super menantang ketahanan perut kami, sampai-sampai oleh mas-mas di kota sebelumnya saya diminta untuk memberikan kabar apakah kami kuat bertahan atau tidak, hahahaha.

 
 
 
Mengenal beberapa jenis rempah dalam bentuk aslinya,baik pohon maupun buahnya, baru tahu saya kalau kemiri itu ada pohonnya :p. Menikmati mandi air hangat di sungai pertemuan air panas dan air dingin secara gratis, berbaur dengan para penduduk desa. Menikmati sarapan sambil minum kopi enak buatan pemilik penginapan (yang kemudian saya dibekali beberapa kantong kopi miliknya) sambil berbincang tentang pemilihan presiden, tentang keluarganya, tentang fakta bahwa kami adalah orang Indonesia pertama yang menginap di tempatnya. Menikmati masakan paling enak buatan ABK yang kebetulan mantan chef. Menikmati tidur semalam di kapal sambil terkena hujan abu gunung meletus yang kok ya kebetulan meletus pas kami ada di sana. kapan lagi kan ya dapat pengalaman kaya gini, melihat awan letusan gunung berapi, kena hujan abu semalaman dan sepanjang hari besoknya saat kami sedang ada ditengah laut. Tracking di tengah hujan abu. Berasa kaya di dunia purba. Sampai-sampai cemas karena takut tidak bisa pulang ke Jakarta akibat bandara ditutup karena hujan abu. It’s once in a lifetime of experience.
 
 
 

Dan sekali lagi, menikmati kebaikan orang-orang yang kemudian menjadi teman dan keluarga baru saya.

Seperti tulisan saya sebelumnya, saya berharap kedatangan kami atau bahkan tulisan ini tidak mengubah local wisdom daerah tersebut. Teringat perbincangan dengan salah satu teman, bahwa yang merusak local wisdom suatu daerah wisata bukanlah dari turis asing, tapi justru dari turis local yang datang membawa segala arogansi mereka hanya karena menganggap budayanya paling ‘cool’. Saya harap kami bukan salah satunya. Just like this one quote,

“When you travel, remember that a foreign country isn’t designed to make you comfortable. It is designed to make its own people comfortable” – Clifton Fadiman
Gotcha.
I have left my heart in many places, and now I left another piece in this land. I’ll be back soon.
Ps. Saya menulis di sela-sela menonton debat Capres. Saya harap para capres ini akan mengingat dengan jelas setiap kalimat yang mereka ucapkan tentang janji untuk bangsa ini. Bangsa ini bangsa yang hebat dear Bapak-Bapak, kami butuh pemimpin yang hebat juga. Sering-sering main ke pelosok-pelosok ya Pak, biar tahu mereka butuhnya apa J
Ps lagi. kalo ada yang butuh contact person orang2 yang bantuin saya di sana, bisa contact ke email : jd_snape@yahoo.com. I'll help you right away :D

Monday, February 24, 2014

People judge,always will always be.

Terkadang tindakan atau ketidakpekaan seseorang akan sesuatu menghadirkan cap atau label tertentu dari society.
Cap baik kalau menurut mereka sesuai dengan what-so-called norma atau mau mereka,dan vice versa.
Lucunya,label itu mereka berikan hanya dari apa yang mereka rasa dari tampak luar saja *cynical grin*.padahal bisa jadi apa yang tampak dari luar sama sekali tidak menggambarkan apa yang ada di dalam.pickup line-nya 'what's inside doesn't look a like what's outside'.
Tapi itulah realita kehidupan sosial.suka atau tidak kita harus ikuti permainannya.saya pun terlibat di dalamnya.terkadang memberikan label ke orang2 di sekitar saya.terkadang pun saya diberikan label.ada yang benar,ada juga yang tidak.
Yang menyedihkan adalah bila kita diberi label yang tidak sesuai oleh first ring kita.hanya karena apa yang mereka rasa.bila label diberikan oleh orang2 diluar first ring,kita cenderung mengabaikan.karena benar atau tidaknya pun bukan masalah,toh mereka tidak mengenal kita bukan?but,first ring matters.ironisnya,kita pun selalu belajar bahwa level first ring pun tidak sepenuhnya mengenal pribadi seseorang luar dalam atau alasan-alasan apa dibalik tindakannya.bahkan dianggap pembelaan diri.ironic.
Tulisan kali ini bukanlah pembelaan diri atau pledoi kalo kata orang2 hukum.hanya pikiran atau rasa yang saya tumpahkan yang cukup mengganjal belakangan ini.karena i do judge.and i'm struggling to avoid that.but yet again,everytime we try very hard to do something,then obstacles will suddenly appear everywhere :)
First ring matters buat saya.saking pentingnya,kadang saya 'jatuh bangun' menghadapi mereka.karena saya lupa mereka hanya manusia biasa,sedangkan i set high expectation on them.sehingga rasa kecewa atau being backstabbed terkadang muncul di permukaan.berlebihan ya rasanya?maybe because i have too much love or too much devotion on them.wise man says 'too much love will kill you'.
Well,it's part of growing up thou'.

Ps. tiba2 jadi keingetan jaman kuliah 'labelling' di jaman rikiplik :p.

'people judge,always will always be.c'est la vie!'