“Museums should be places where you raise questions, not just show stuff.” – William Thorsell.
Setiap
kali pergi ke suatu tempat, tempat yang selalu saya cari selain toko buku dan pantai
adalah museum.
Entah
sejak kapan kebiasaan ini muncul, kayanya waktu kecil orang tua juga nggak
pernah ngajakin jalan ke museum, tapi ketertarikan akan museum tumbuh bersama
kecintaan saya akan sejarah dan seni. dan mungkin juga dengan obsesi saya pada
keteraturan, tapi kadang gagal saya jalankan karena saking ribetnya jalur
pikiran sehingga bingung mau mengatur dari sisi mana.
Museum
mana saja yang biasa dikunjungi? kalau baru pertama kali visit ke suatu Negara atau
daerah, yang dicari adalah museum yang banyak muatan sejarahnya, termasuk
istana, keraton atau situs yang terkadang bisa bercerita banyak tentang sejarah.
Jadi bisa tau masa lalu seperti apa yang membentuk wajah suatu tempat. Seperti ke
Museum Peranakan di Singapore, Reunification Palace di Ho Chi Minh City, Ullen
Sentalu di Jogja, The Royal Palace di Kamboja, Keraton Kasepuhan dan Kanoman
Cirebon, rumah pengasingan
Bung Karno di Ende Flores, dll.
Selain
museum sejarah, saya juga suka ke museum seni atau museum2 yang tematik. Misalnya
ke Museum batik Danar Hadi di Solo, Museum fine art di Ho Chi Minh City, Singapore
Art Museum di Singapore, Museum Affandi di Jogja, Museum Bank Mandiri, Museum
Tekstil, Museum Bank Indonesia, Museum Wayang, Museum Keramik di Jakarta, dll.
Berapa
lama di Museum? Tergantung. Pernah satu museum diublek 3 jam full, pernah juga
seharian museum hopping. Paling suka kalo sendirian atau jalan bareng orang2
yang emang suka nongkrong di museum, jadi kalo mau explore lama bisa bebas. Siasatnya
ya pisah rombongan dan janjian ketemu di meeting point. Tapi kadang saya juga
harus merelakan nggak bisa masuk ke museum karena nggak mungkin pisah sama
temen jalan dengan pertimbangan waktu atau kesulitan menentukan meeting point. Kenapa
lama? Karena saya bisa stuck di 1 koleksi dan membayangkan banyak hal,
membayangkan banyaknya peristiwa yang sudah dilalui oleh 1 benda koleksi. Bisa dapat
banyak insight dari situ, bisa juga sambil merekonstruksi sejarah di dalam
kepala. Bisa senyum-senyum sendiri, mengerutkan kening, terpukau atau bahkan
menangis terharu terbawa perasaan tentang nilai sentimental koleksi. misalnya
waktu di museum Affandi Jogja, 1 lukisan Pak Affandi bisa menahan saya begitu
lama karena saya merasakan guratan tegas tangan yang penuh dengan passion di
dalamnya, merasakan perasaan apa yang ingin dia sampaikan melalui sebuah coretan di atas kanvas atau waktu saya melihat foto beliau dengan anaknya (Ibu Kartika)
sedang melukis bersama di Amerika, ada nuansa keceriaan dan lagi lagi passion
yang keluar dari selembar foto itu. Atau saat sedang menyaksikan
lukisan-lukisan Raden Saleh yang menurut saya luar biasa, dan dari
lukisan-lukisannya saya merasakan bagaimana seorang Raden Saleh adalah seorang
yang beyond the era, seseorang yang lahir di jaman yang bukan jamannya sehingga
pemikiran atau perbuatannya terkadang sulit dimengerti pada masanya. Melihat kumpulan
surat di museum Ullen Sentalu dan membayangkan bagaimana situasi saat surat2
itu ditulis, bagaimana perasaan si penulis dan perasaan orang yang menerima dan
membacanya, pesan apa yang coba disampaikan dan apakah itu tersampaikan.
Di
beberapa museum dan situs sejarah, beruntung banget kalau ada guide yang bisa
memberikan info yang lengkap dan akurat tentang koleksi2 museum. Di museum
batik Danar Hadi Solo, Ullen Sentalu Jogja dan Keraton Kasepuhan Cirebon
misalnya, setiap pengunjung atau grup pengunjung didampingi 1 guide yang
membantu kita menerangkan isi koleksi. Di Ullen Sentalu malah kita harus rela
nunggu sampai kuota grup mencukupi atau nunggu jeda antar grup supaya nggak
riweuh di dalem museum, di museum-museum di Singapore ada jam2 tertentu untuk
trip keliling dengan guide.
Semua
museum menurut saya bagus, karena effort untuk membuat sebuah museum itu nggak
gampang. Boro2 effort, ada niat bikin museum aja itu udah bagus, karena ini
tanggung jawab seumur hidup untuk merawat dan menjaga koleksi. tapi ada
beberapa tempat yang jadi favorit karena mereka menjaga dan merawat koleksi
dengan sangat baik serta menyediakan informasi yang dirangkai dengan baik. Misalnya
di Singapore. Karena saya belum pernah ke museum2 di Eropa dan Amerika yang
katanya bagus banget itu, maka patokan saya adalah museum2 di Singapore. Menurut
saya sih pemerintah dan pihak swastanya cukup serius mengelola museum2 yang ada
di sana. 1 negara itu aja jumlah museumnya ada banyak, satu tempat nggak cukup
diexplore 1 jam. Semua museum dikelola sama National Heritage Board dan
diintegrasi sama program pariwisata Singapore. Bahkan ada buklet yang terbit
berkala, isinya event2 yang ada di masing2 museum. jadi kita nggak perlu sibuk
nyari info di sana sini. Pernah saking freaknya, saya seharian Cuma muterin
museum di sana, hahaha..
Di
Jakarta saya suka sama Museum Bank Indonesia, pengelolaannya sudah pro seperti
di Singapura. Galeri Indonesia Kaya yang di Mal Grand Indonesia juga saya
anggap sebagai museum kecil yang dikelola dengan baik. Selain itu, saya jatuh
cinta sama Museum Ullen Sentalu di Jogja dan Museum Batik Danar Hadi.
Kebanyakan
museum yang ‘layak’ memang biasanya dikelola oleh pihak swasta atau pihak
keluarga. Sebenernya agak prihatin dengan kondisi banyak museum di Indonesia. Selain
dari pemeliharaan, perawatan koleksinya kurang, dan informasi yang disediakan Cuma
seiprit dan kadang malah nggak ada, kelakuan para pengunjungnya itu loh, ya
ampuuunnnn maen pegang2, injek2, naek2 ke tempat koleksi disimpan (misalnya di
Museum Fatahillah, makanya saya nggak suka kesana karena bikin nangis aja). Jadinya
saya suka banget tuh negur2 mereka biar gag pegang2 koleksi, duh. Harusnya pihak
museum tegas bikin aturan dan edukasi tentang cara memperlakukan benda koleksi
dan ngasih pembatas supaya ada jarak antara benda koleksi dengan pengunjung. Mungkin bisa mencontoh museum di Indonesia yang dikelola swasta atau yayasan keluarga, misalnya Museum Ullen Sentalu Jogja yang tegas melarang pengunjung mengambil gambar di dalam museum atau sendirian tanpa guide. Kalau yang dikelola swasta saja bisa kenapa pemerintah tidak bisa?
Dari
museum juga kita bisa tahu bagaimana suatu Negara memperlakukan sejarahnya.
apakah dihargai dengan layak atau tidak. Kalau mau dibandingkan, rata2 harga
tiket masuk di museum-museum Indonesia yang dikelola pemerintah tidak lebih
dari Rp 5000, sedangkan yang dikelola pihak swasta rata2 Rp 20.000 ke atas.
Beruntungnya
sekarang mulai banyak komunitas pecinta museum dan sejarah yang terbentuk, jadi
ada banyak pihak yang memikirkan keberadaan museum di Indonesia, termasuk
edukasi ke masyarakat tentang bagaimana memperlakukan benda koleksi dengan
baik.
Museum
dan gudang itu beda tipis. Fungsi asalnya sama2 tempat buat nyimpen barang,
bedanya yang disimpan di museum ditata dan dirawat dengan baik serta
menumbuhkan interpretasi atau diskusi dari yang melihat plus ada tujuan konservasi,
kalau gudang Cuma tempat buat numpuk barang2 yang sayang dibuang. Kita nggak
mau Indonesia Cuma punya gudang-gudang aja kan?
Banyak
sekali museum yang menarik untuk dikunjungi apalagi di Indonesia yang kaya
sejarah dan koleksi. ada beberapa museum yang sudah masuk list saya untuk dikunjungi.
bahkan ada yang waiting list karena untuk masuk ke museumnya harus by
appointment dan harus sesuai kuota pengunjung yang ditentukan. Seru ya?
3 comments:
ah ullen sentalu... kalo ngebayangin lagi sekarang pun ada getaran getaran deh
Getaran apa hayooo
Getaran apa hayooo
Post a Comment